DEJAVU. Aku seperti merasakan kembali kehadiran ayah sore ini. Matahari
telah jatuh ke barat, bersembunyi di balik pucuk mangga yang kian
menjulang. Pucuk mangga yang dulu sama tingginya dengan tubuhku, kini jauh
meninggalkan aku hingga berlipat-lipat. Matahari mulai kemerahan, pertanda
sebentar lagi bumi kehilangan cahaya. Kami selalu menyukai cahaya matahari yang
kemerahan. Kata ayah, matahari sore yang berwarna merah adalah matahari
terbaik. Sinarnya masih mampu memberi terang tanpa membakar.
Ayah, seorang guru SD di kampung, adalah sosok yang
sangat menginginkan anak-anaknya dapat bersekolah hingga jenjang yang paling
tinggi. Kedua kakak perempuanku memang hanya tamatan SMA. Tetapi, jenjang
itu adalah jenjang tertinggi yang pernah dicapai oleh anak perempuan di
kampungku. Kebanyakan anak perempuan tetangga kami hanya tamatan SD dan
sebagian kecil lainnya, yang bisa dihitung dengan jari tangan kanan sempat
menikmati bangku SMP. Sebenarnya ayah menginginkan mereka melanjutkan ke
perguruan tinggi, tetapi mereka berdua tak mampu mewujudkan keinginan ayah.
Ayah kecewa.
Tentu saja, harapan terakhir ayah tertumpu di pundakku. Aku
memang telah digadang-gadang ayah sejak kecil. Segala macam usaha ayah lakukan
untuk membekali diriku. Tiap malam aku dibimbingnya belajar. Buku-buku yang
dibeli ayah dari pasar loak harus aku lahap hingga tuntas. Mungkin jika di
kampungku ada bimbingan balajar, sudah pasti aku diikutkan. Memang hasilnya tak
mengecewakan, aku menjadi anak yang cukup pintar hingga selalu berprestasi di
kelas.
* * *
* * *
Matahari merah mulai mendekati garis cakrawala di ufuk barat. Tampak bertengger
dengan anggunnya di atas kerimbunan pohon yang berada jauh di seberang sawah.
Beberapa lembar awan putih mulai melayang menutupi sebagian matahari merahku,
membuatnya kian jelita. Sementara angin menghembuskan aroma tanah sawah yang
siap ditanami padi. Semuanya jadi sangat mempesona karena duduk berdua bersama
ayah menikmati secangkir teh. Sampai saat aku utarakan keinginanku yang
langsung mendapat reaksi keras dari ayah. Hingga mengubah segalanya.
“Cukup ayah saja yang menjadi guru di garis keluarga kita!” kata ayahku sambil memandangi burung-burung pipit yang terbang pulang. Aku tak mampu menatap wajah ayah, pandanganku hanya tertuju pada cangkir di tanganku. Rasanya itulah pemandangan paling aman daripada harus menatap mata orang yang paling dekat dan paling aku hormati selama ini. Secara fisik aku tak mampu menentangnya, tetapi di tempurung kepalaku, telah berjubel kata dan kalimat yang menunggu giliran untuk dimuntahkan. Aku masih diam menunduk.
Ayahku melanjutkan kata-katanya, ”Ayah ingin kau menjadi insinyur pertanian, ahli teknik, atau apa pun, asal tidak menjadi guru!”
Suasana sore itu benar-benar kaku, mungkin sedikit
menegangkan.
Dengan mengerahkan segenap keberanian, aku pun berusaha menjawab, “Aku maklum kalau ayah berkata demikian, karena seperti yang pernah ayah bilang, ayah menjadi guru bukan atas kemauan sendiri tetapi karena kakek menghendaki demikian. Jadi, mungkin ada keterpaksaan dalam melakoni pekerjaan, sehingga ayah kecewa.” Aku agak tak percaya dengan kelancaranku berkata-kata, hal ini semakin memompa semangatku untuk melanjutkan kata-kataku sebelum ayah sempat menjawab.
“Mungkin ayah telah merasakan sendiri bagaimana rasanya orang yang bekerja bukan atas kemauan sendiri. Apakah ayah menghendaki hal itu terjadi padaku?” rasanya aku semakin berani saja berkata-kata.
“Bukan itu maksud ayah. Ayah hanya tidak ingin perasaan bersalah yang terus menghantui ayah selama ini menurun padamu!”
“Maksudnya?” aku memang betul-betul tidak paham dengan maksud kata-kata ayah. Selama ini aku tak melihat kesalahan yang terjadi pada diri ayah. Satu-satunya yang menurutku salah hanyalah sikap ayah yang tak menghendaki aku menjadi guru.
“Ayah merasa bersalah kepada kalian, karena ayah tak pernah dapat mencukupi kebutuhan kalian semua. Ayah tak mampu memberi kalian tempat tinggal yang layak, yang tak bocor kalau hujan, yang tak kepanasan kala terik matahari memanggang. Ayah tak pernah memberikan makanan yang lezat dan bergizi tinggi untuk tubuh kalian. Dan kalian anak-anakku, tak pernah sempat berekreasi menikmati keindahan alam menjelajah negeri ini karena ayah tak pernah punya uang lebih untuk hal-hal seperti itu! Bahkan, ayah tak mampu menjamin kelangsungan pendidikan kalian, walaupun ayah guru!” ayahku berkata sambil menahan sesuatu dari dalam hatinya.
Aku masih terdiam, seakan memberi kesempatan ayah untuk
mengungkapkan hal lain yang mungkin masih bersemayam dalam hati. “Guru adalah
profesi terhormat yang paling tak disukai! Dulu, orang tua ibumu, tak setuju
kalau ibumu ayah peristri! Sampai sekarang pun kau bisa lihat sendiri kalau
kakekmu itu tak suka pada ayah. Menantu yang miskin. tidak seperti menantu yang
lain. Bahkan, waktu ayah muda dulu, ada kata-kata yang digunakan orang tua
untuk menakut-nakuti anak perawannya yang bandel, ‘Awas, kalau tak nurut, nanti
aku kawinkan dengan guru!’ menyedihkan sekali bukan?”
Sejenak aku pandangi matahari merah yang kian merunduk dan ayah melanjutkan kata-katanya, “Guru adalah pilihan orang-orang bodoh! Tidakkah kau amati, anak-anak yang lolos PMDK, tak satu pun yang memilih IKIP! Tidakkah kau tahu, anak-anak pintar dari semua SMA selalu memilih menjadi dokter, insinyur, sarjana hukum, sarjana ekonomi dan profesi lain yang menjanjikan.”
Aku sama sekali tak menyalahkan ayah tentang hal ini.
Kenyataan memang berbicara demikian, anak-anak yang masuk IKIP adalah anak-anak
yang tak diterima di perguruan tinggi lain. Semua aku ketahui dengan
pasti saat aku mulai kuliah. Sebagian besar temanku memilih IKIP karena
terpaksa. Terpaksa karena tak diterima di Universitas lain, terpaksa karena
sadar prestasinya hanya pas-pasan. Dan ekonomi mereka juga tak jauh beda dengan
aku. Guru-guru yang tercetak adalah sisa dari saringan dokter, insinyur dan
sebagainya.
“Kau adalah anak ayah yang pintar, jangan sia-siakan otakmu
hanya untuk menjadi guru! Jangan kau lepaskan kesempatan untuk meraih sesuatu
yang lebih baik!” kelihatan ayahku berusaha keras untuk meruntuhkan semangatku.
Tapi aku rupanya mewarisi sifat ibuku yang keras, “Maafkan
aku ayah, bukan aku tak menghargai keinginan ayah, tetapi aku hanya ingin
menjadi guru. Rasanya aku tak mampu untuk mengabulkan keinginan ayah. Hal-hal
yang aku alami dan rasakan selama sekolah membuat aku betul-betul ingin menjadi
guru.”
“Apa yang kau harapkan dari profesi guru? Apa yang kau tahu tentang guru,
sehingga ngotot ingin jadi guru? Tak kau lihatkah ayahmu? Ayah telah membuat
mereka pandai membaca, menulis dan berhitung, hingga mereka bisa sekolah sampai
ke jenjang paling tinggi. Sebagian mereka bahkan menjadi pejabat, pengusaha dan
orang terkenal! Tetapi apa yang ayah dapatkan? Pemerintah hanya memberi ayah
sebuah lagu ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’. Masyarakat hanya memberi ucapan ‘Enak
ya, jadi guru, jam dua belas sudah di rumah, banyak liburnya lagi’. Apa itu
yang kau mau?” kelihatan ayahku mulai meradang.
Sampai di sini, aku betul-betul tak habis pikir, mengapa
ayah berpikiran seperti itu hingga ngotot melarang aku menjadi guru?
Satu-satunya jawaban yang paling memungkinkan bagiku adalah, kehidupan ayah
yang pas-pasan telah menimbulkan ketidaksukaan terhadap profesinya sendiri.
“Ayah hanya ingin kelak kau hidup bahagia karena tercukupi segala kebutuhanmu!”
“Ayah hanya ingin kelak kau hidup bahagia karena tercukupi segala kebutuhanmu!”
“Materi memang penting ayah, tetapi itu bukan satu-satunya hal yang membuat
hidup bahagia!” aku mencoba berfilsafat yang tentu saja langsung dibantah ayah.
“Kau masih terlalu muda untuk mengerti anakku, sekarang kau bisa berkata seperti itu. Tetapi, saat kau sudah berkeluarga dan punya anak, kau akan menyesali perkataanmu itu!”
“Kau masih terlalu muda untuk mengerti anakku, sekarang kau bisa berkata seperti itu. Tetapi, saat kau sudah berkeluarga dan punya anak, kau akan menyesali perkataanmu itu!”
Setelah itu ayah meninggalkanku sendirian dan mengakhiri
kebiasaannya moci. Segala usahaku untuk mengajak ayah duduk kembali di kursi
teras samping rumah menikmati secangkir teh dengan balutan matahari merah
selalu gagal. Padahal seperti biasa aku sediakan dua cangkir keramik putih
kecil dangan poci tanah liat yang pucuknya mengepulkan asap teh wangi yang
membuat pecinta teh sejati akan tergoda. Namun ayah terlalu tangguh menahan
godaan, kini ayah lebih tertarik menonton televisi daripada moci bersamaku.
Cangkir ayah tetap utuh sampai matahari benar-benar tenggelam dan aku terpaksa
membereskan semua.
Sekali waktu aku mengajaknya secara langsung, “Ayo, Pak,
kita moci! Tehnya sudah jadi. Mumpung masih panas!” Dan sebagai pelengkap
aku sesap teh di cangkir hingga menimbulkan bunyi ‘sruutt’ yang cukup keras.
Namun ayah tetap bergeming. Bahkan menjawab ajakanku pun tidak. Beliau
benar-benar kecewa dengan pilihanku.
Tetapi keinginanku untuk menjadi guru rupanya sama kuatnya dengan pendirian ayah. Diam-diam aku tetap melanjutkan cita-citaku dan ayah diam saja menyaksikan sepak terjangku selanjutnya.
Ayahku diam dalam arti yang sebenarnya. Sejak saat itu, beliau tak lagi mau berbicara denganku, bahkan saat aku pamitan untuk merantau kuliah di luar kota pun, beliau seakan sengaja menghindar. Tidak hanya itu, biaya kuliah dan biaya hidup pun diberikan penuh hanya pada tahun pertama saja. Untuk tahun-tahun berikutnya, wesel yang dikirimkan tak mencukupi untuk biaya hidup sehari-hari. Belakangan kuketahui kalau kiriman itu hasil upaya ibu menyisihkan uang belanja tiap harinya tentu saja tanpa sepengetahuan ayah.
Terpaksa aku harus membagi waktu kuliah dengan bekerja apa saja untuk mencari tambahan, menjadi pengantar koran, pencuci piring di restoran, kadang diselingi dengan menulis cerpen untuk koran lokal. Semua kulakukan demi mewujudkan tekadku agar dapat lulus kuliah dan menjadi guru!
* * *
Matahari tak tampak lagi, yang tersisa hanya semburat merah di garis langit sebelah barat. Seandainya ayah masih ada, tentu ia akan segera menyuruhku membereskan meja seraya beranjak masuk rumah. Tiba-tiba handphone-ku berdering. Kulihat wajah anakku tertera di layar, anak sulungku yang cantik yang sekarang duduk di bangku kelas sebelas. Ah, seandainya ayah masih bisa menikmati matahari merah sore ini, tentu aku tak akan memendam kecewa karena tak dapat menunjukkan bahwa nasibku tak seburuk yang ayah khawatirkan.
🌞🌞🌞🌞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar