Semoga bermanfaat

Kombinasi dari rumusan kata per kata yang memiliki isi dan makna tersendiri. Semoga dapat memberi manfaat bagi yang membaca. Salam kenal dari saya. ^^

Rabu, 10 Desember 2014

MATAHARI MERAH



DEJAVU. Aku seperti merasakan kembali kehadiran ayah sore ini. Matahari telah jatuh ke barat, bersembunyi di balik pucuk mangga yang   kian menjulang. Pucuk mangga yang dulu sama tingginya dengan tubuhku, kini jauh meninggalkan aku hingga berlipat-lipat. Matahari mulai kemerahan, pertanda sebentar lagi bumi kehilangan cahaya. Kami selalu menyukai cahaya matahari yang kemerahan. Kata ayah, matahari sore yang berwarna merah adalah matahari terbaik. Sinarnya masih mampu memberi terang tanpa membakar.

        Matahari merah ini mengingatkanku pada masa dua puluh tahun silam, saat aku memutuskan untuk berseberangan dengan ayah atas keputusan yang aku ambil. Dengan mantap dan penuh percaya diri, aku membantah segala pikiran ayah, dengan segala idealismeku yang masih sangat kental, aku bersikukuh pada apa yang aku yakini. Walaupun terpaksa aku harus kehilangan tradisi moci tiap sore hari karena ayah tak berselera lagi menikmati matahari merah.

        Aku, bungsu dari tiga bersaudara, anak lelaki satu-satunya adalah kesayangan ayah. Perhatian ayah yang banyak tercurah padaku sempat membuat iri kedua kakak perempuanku. Sehingga mereka lebih memilih untuk dekat dengan ibu daripada dengan ayah. Akan tetapi belakangan baru kuketahui kalau mereka lebih dekat dengan ibu bukan karena merasa tak mendapat tempat di hati ayah melainkan lebih karena mereka perempuan yang tentu akan banyak meniru apa yang dikerjakan seorang ibu daripada seorang ayah. Aku sendiri memang lebih suka dekat dengan ayah karena beliau tak terlalu banyak bicara. Sangat berbeda dengan ibuku yang cerewet.

        Ayah, seorang guru SD di kampung, adalah sosok yang  sangat menginginkan anak-anaknya dapat bersekolah hingga jenjang yang paling tinggi. Kedua kakak perempuanku memang hanya tamatan SMA.  Tetapi, jenjang itu adalah jenjang tertinggi yang pernah dicapai oleh anak perempuan di kampungku. Kebanyakan anak perempuan tetangga kami hanya tamatan SD dan sebagian kecil lainnya, yang bisa dihitung dengan jari tangan kanan sempat menikmati bangku SMP. Sebenarnya ayah menginginkan mereka melanjutkan ke perguruan tinggi, tetapi mereka berdua tak mampu mewujudkan keinginan ayah. Ayah kecewa.

        Tentu saja, harapan terakhir ayah tertumpu di pundakku. Aku memang telah digadang-gadang ayah sejak kecil. Segala macam usaha ayah lakukan untuk membekali diriku. Tiap malam aku dibimbingnya belajar. Buku-buku yang dibeli ayah dari pasar loak harus aku lahap hingga tuntas. Mungkin jika di kampungku ada bimbingan balajar, sudah pasti aku diikutkan. Memang hasilnya tak mengecewakan, aku menjadi anak yang cukup pintar hingga selalu berprestasi di kelas.
                                                                  *       *       *
        Matahari merah mulai mendekati garis cakrawala di ufuk barat. Tampak bertengger dengan anggunnya di atas kerimbunan pohon yang berada jauh di seberang sawah. Beberapa lembar awan putih mulai melayang menutupi sebagian matahari merahku, membuatnya kian jelita. Sementara angin menghembuskan aroma tanah sawah yang siap ditanami padi. Semuanya jadi sangat mempesona karena duduk berdua bersama ayah menikmati secangkir teh. Sampai saat aku utarakan keinginanku yang langsung mendapat reaksi keras dari ayah. Hingga mengubah segalanya.

        “Cukup ayah saja yang menjadi guru di garis keluarga kita!”  kata ayahku sambil memandangi burung-burung pipit yang terbang pulang. Aku tak mampu menatap wajah ayah, pandanganku hanya tertuju pada cangkir di tanganku. Rasanya itulah pemandangan paling aman daripada harus menatap mata orang yang paling dekat dan paling aku hormati selama ini. Secara fisik aku tak mampu menentangnya, tetapi di tempurung kepalaku, telah berjubel kata dan kalimat yang menunggu giliran untuk dimuntahkan. Aku masih diam menunduk.
     
        Ayahku melanjutkan kata-katanya, ”Ayah ingin kau menjadi insinyur pertanian, ahli teknik, atau apa pun, asal tidak menjadi guru!”

Suasana sore itu benar-benar kaku, mungkin sedikit menegangkan. 
 
        Dengan mengerahkan segenap keberanian, aku pun berusaha menjawab, “Aku maklum kalau ayah berkata demikian, karena seperti yang pernah ayah bilang, ayah menjadi guru bukan atas kemauan sendiri tetapi karena kakek menghendaki demikian. Jadi,  mungkin ada keterpaksaan dalam melakoni pekerjaan, sehingga ayah kecewa.” Aku agak tak percaya dengan kelancaranku berkata-kata, hal ini semakin memompa semangatku untuk melanjutkan kata-kataku sebelum ayah sempat menjawab.
  
        “Mungkin ayah telah merasakan sendiri bagaimana rasanya orang yang bekerja bukan atas kemauan sendiri. Apakah ayah menghendaki hal itu terjadi padaku?” rasanya aku semakin berani saja berkata-kata.
        
 
        “Bukan itu maksud ayah. Ayah hanya tidak ingin perasaan bersalah yang terus menghantui ayah selama ini menurun padamu!”
        
 
        “Maksudnya?” aku memang betul-betul tidak paham dengan maksud kata-kata ayah. Selama ini aku tak melihat kesalahan yang terjadi pada diri ayah. Satu-satunya yang menurutku salah hanyalah sikap ayah yang tak menghendaki aku menjadi guru.

        “Ayah merasa bersalah kepada kalian, karena ayah tak pernah dapat mencukupi kebutuhan kalian semua. Ayah tak mampu memberi kalian tempat tinggal yang layak, yang tak bocor kalau hujan, yang tak kepanasan kala terik matahari memanggang. Ayah tak pernah memberikan makanan yang lezat dan bergizi tinggi untuk tubuh kalian. Dan kalian anak-anakku, tak pernah sempat berekreasi menikmati keindahan alam menjelajah negeri ini karena ayah tak pernah punya uang lebih untuk hal-hal seperti itu! Bahkan, ayah tak mampu menjamin kelangsungan pendidikan kalian, walaupun ayah guru!” ayahku berkata sambil menahan sesuatu dari dalam hatinya.
 
        Aku masih terdiam, seakan memberi kesempatan ayah untuk mengungkapkan hal lain yang mungkin masih bersemayam dalam hati. “Guru adalah profesi terhormat yang paling tak disukai! Dulu, orang tua ibumu, tak setuju kalau ibumu ayah peristri! Sampai sekarang pun kau bisa lihat sendiri kalau kakekmu itu tak suka pada ayah. Menantu yang miskin. tidak seperti menantu yang lain. Bahkan, waktu ayah muda dulu, ada kata-kata yang digunakan orang tua untuk menakut-nakuti anak perawannya yang bandel, ‘Awas, kalau tak nurut, nanti aku kawinkan dengan guru!’ menyedihkan sekali bukan?”

Sejenak aku pandangi matahari merah yang kian merunduk dan ayah melanjutkan kata-katanya, “Guru adalah pilihan orang-orang bodoh! Tidakkah kau amati, anak-anak yang lolos PMDK, tak satu pun yang memilih IKIP! Tidakkah kau tahu, anak-anak pintar dari semua SMA selalu memilih menjadi dokter, insinyur, sarjana hukum, sarjana ekonomi dan profesi lain yang menjanjikan.”

        Aku sama sekali tak menyalahkan ayah tentang hal ini. Kenyataan memang berbicara demikian, anak-anak yang masuk IKIP adalah anak-anak yang tak diterima di perguruan tinggi  lain. Semua aku ketahui dengan pasti saat aku mulai kuliah. Sebagian besar temanku memilih IKIP karena terpaksa. Terpaksa karena tak diterima di Universitas lain, terpaksa karena sadar prestasinya hanya pas-pasan. Dan ekonomi mereka juga tak jauh beda dengan aku. Guru-guru yang tercetak adalah sisa dari saringan dokter, insinyur dan sebagainya.

        “Kau adalah anak ayah yang pintar, jangan sia-siakan otakmu hanya untuk menjadi guru! Jangan kau lepaskan kesempatan untuk meraih sesuatu yang lebih baik!” kelihatan ayahku berusaha keras untuk meruntuhkan semangatku.
        
        Tapi aku rupanya mewarisi sifat ibuku yang keras, “Maafkan aku ayah, bukan aku tak menghargai keinginan ayah, tetapi aku hanya ingin menjadi guru. Rasanya aku tak mampu untuk mengabulkan keinginan ayah. Hal-hal yang aku alami dan rasakan selama sekolah membuat aku betul-betul ingin menjadi guru.”

        “Apa yang kau harapkan dari profesi guru? Apa yang kau tahu tentang guru, sehingga ngotot ingin jadi guru? Tak kau lihatkah ayahmu? Ayah telah membuat mereka pandai membaca, menulis dan berhitung, hingga mereka bisa sekolah sampai ke jenjang paling tinggi. Sebagian mereka bahkan menjadi pejabat, pengusaha dan orang terkenal! Tetapi apa yang ayah dapatkan? Pemerintah hanya memberi ayah sebuah lagu ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’. Masyarakat hanya memberi ucapan ‘Enak ya, jadi guru, jam dua belas sudah di rumah, banyak liburnya lagi’. Apa itu yang kau mau?” kelihatan ayahku mulai meradang.

        Sampai di sini, aku betul-betul tak habis pikir, mengapa ayah berpikiran seperti itu hingga ngotot melarang aku menjadi guru? Satu-satunya jawaban yang paling memungkinkan bagiku adalah, kehidupan ayah yang pas-pasan telah menimbulkan ketidaksukaan terhadap profesinya sendiri.
“Ayah hanya ingin kelak kau hidup bahagia karena tercukupi segala kebutuhanmu!”

        “Materi memang penting ayah, tetapi itu bukan satu-satunya hal yang membuat hidup bahagia!” aku mencoba berfilsafat yang tentu saja langsung dibantah ayah.
“Kau masih terlalu muda untuk mengerti anakku, sekarang kau bisa berkata seperti itu. Tetapi, saat kau sudah berkeluarga dan punya anak, kau akan menyesali perkataanmu itu!”


        Setelah itu ayah meninggalkanku sendirian dan mengakhiri kebiasaannya moci. Segala usahaku untuk mengajak ayah duduk kembali di kursi teras samping rumah menikmati secangkir teh dengan balutan matahari merah selalu gagal. Padahal seperti biasa aku sediakan dua cangkir keramik putih kecil dangan poci tanah liat yang pucuknya mengepulkan asap teh wangi yang membuat pecinta teh sejati akan tergoda. Namun ayah terlalu tangguh menahan godaan, kini ayah lebih tertarik menonton televisi daripada moci bersamaku. Cangkir ayah tetap utuh sampai matahari benar-benar tenggelam dan aku terpaksa membereskan semua.

        Sekali waktu aku mengajaknya secara langsung, “Ayo, Pak, kita moci! Tehnya sudah jadi. Mumpung masih panas!” Dan sebagai pelengkap aku sesap teh di cangkir hingga menimbulkan bunyi ‘sruutt’ yang cukup keras. Namun ayah tetap bergeming.  Bahkan menjawab ajakanku pun tidak. Beliau benar-benar kecewa dengan pilihanku.

        Tetapi keinginanku untuk menjadi guru rupanya sama kuatnya dengan pendirian ayah. Diam-diam aku tetap melanjutkan cita-citaku dan ayah diam saja menyaksikan sepak terjangku selanjutnya.
Ayahku diam dalam arti yang sebenarnya. Sejak saat itu, beliau tak lagi mau berbicara denganku, bahkan saat aku pamitan untuk merantau kuliah di luar kota pun, beliau seakan sengaja menghindar. Tidak hanya itu, biaya kuliah dan biaya hidup pun diberikan penuh hanya pada tahun pertama saja. Untuk tahun-tahun berikutnya, wesel yang dikirimkan tak mencukupi untuk biaya hidup sehari-hari. Belakangan kuketahui kalau kiriman itu hasil upaya ibu menyisihkan uang belanja tiap harinya tentu saja tanpa sepengetahuan ayah.
        Terpaksa aku harus membagi waktu kuliah dengan bekerja apa saja untuk mencari tambahan, menjadi pengantar koran, pencuci piring di restoran, kadang diselingi dengan menulis cerpen untuk koran lokal. Semua kulakukan demi mewujudkan tekadku  agar dapat lulus kuliah dan menjadi guru! 
                                                                    *    *    *
        Matahari tak tampak lagi, yang tersisa hanya semburat merah di garis langit sebelah barat. Seandainya ayah masih ada, tentu ia akan segera menyuruhku membereskan meja seraya beranjak masuk rumah. Tiba-tiba handphone-ku berdering. Kulihat wajah anakku tertera di layar, anak sulungku yang cantik yang sekarang duduk di bangku kelas sebelas. Ah, seandainya ayah masih bisa menikmati matahari merah sore ini, tentu aku tak akan memendam kecewa karena tak dapat menunjukkan bahwa nasibku tak seburuk yang ayah khawatirkan.

                                                                  🌞🌞🌞🌞

Tidak ada komentar:

Posting Komentar