Semoga bermanfaat

Kombinasi dari rumusan kata per kata yang memiliki isi dan makna tersendiri. Semoga dapat memberi manfaat bagi yang membaca. Salam kenal dari saya. ^^

Rabu, 10 Desember 2014

Secercah Harapan Bintang kepada Sang Bulan



       

       Gemericik air hujan menemani derap kaki yang terseok-seok melewati gelapnya malam. Ranting-ranting pohon menari-nari seakan melihat dan menyambut empunya kaki. Ia berhenti di sebuah rumah, sepi, tak ada orang, ia tertegun dan melihat arlojinya. Pantaslah, memang hari sudah menunjukkan tengah malam. Tangannya yang sedikit gemetar menarik ganggang pintu dengan sangat hati-hati, takut kalau ada yang mendengar, walau sekalipun itu adalah seekor tikus yang lewat.
        Setelah masuk, dengan rambut panjangnya yang masih acak-acakan, ia segera bergegas menuju kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat.
---
        Pagi hari telah tiba, kokok ayam sudah mulai terdengar dan dilanjutkan sahutan lantunan azan shubuh. Sang surya pun masih malu-malu menampakkan dirinya untuk menyambut bumi pertiwi. Pada saat itu pula namun di tempat yang berbeda, Seorang jabang bayi tercipta dalam rahim seorang ibu. Ia baru saja berumur beberapa hari, tubuhnya yang masih sangat kecil menempel pada rahim ibunya dan mencengkram kuat, takut bila terpisah dari Sang Ibu. Meskipun masih sangat kecil, ia mulai merasakan getaran-getaran jiwa dari rahim ibunya. Ia sangat sayang ibunya.
Sebelum ia tercipta, ia bertanya kapada Para malaikat.
“Saya merasa cemas, jikalau saya terlahir di dunia sendirian, siapa yang akan menemani saya nanti? Menjaga saya di kala ketakutan dan merawat saya di kala sakit?” tanya Si Jabang Bayi .
Para Malaikat hanya tersenyum lalu berkata,
“Tentu saja kamu tidak akan sendirian, ada seseorang yang akan senantiasa menemanimu, menjagamu, dan merawatmu dengan sepenuh hati. Dan ia adalah seorang Ibu.”
        Dari perkataan itulah yang membuat Si Jabang Bayi merasa lega dan senang. Ia sangat menyayangi ibunya. Ia tak sabar ingin bertemu dan memeluk Sang Ibu. Hari ke hari, tahap-tahap pertumbuhannya selalu ia nikmati hingga akhirnya ia terlahir kelak ke dunia. Ia sudah mulai tak sabar.
---
        Namun, suatu hari, Ia tiba-tiba merasa terbentur oleh suatu benda yang cukup membuatnya kaget dan merasa sakit. Ia bingung dan takut. Lalu ia mencoba bertanya kepada sang Ibu melalui rahim.
“Ibu, apa yang sedang terjadi? Tidak apa-apa kan dirimu ini? Tubuhku tiba-tiba terasa sakit, seperti ada sesuatu yang menekan diriku?”
Tidak ada jawaban dari sang Ibu.
Kemudian tiba-tiba, ia merasa tidak enak badan,tubuhnya terasa lemas, letih dan perih. Lalu ia bertanya kembali kepada sang Ibu,
“Ibu, tubuhku tiba-tiba merasa lemas dan sakit. Apa yang sedang terjadi? Baik-baik sajakah Ibu ini?"
        Masih tidak ada jawaban dari sang Ibu. Namun, si Jabang Bayi yakin Sang Ibu akan selalu menjaganya walaupun ia belum bisa berkomunikasi secara langsung dengan sang Ibu. Ia tetap optimis dan bertahan untuk menyambut keinginannya mendapat pelukan hangat sang Ibu ketika ia terlahir kelak.
---
        Hari telah berganti, rasa itu kembali datang, kini terasa otaknya yang baru berkembang tiba-tiba seakan ingin pecah. Sakit sekali rasanya bak ribuan jarum menusuk kepalanya yang mungil. Ia tetap mencoba bertahan dan yakin sang Ibu akan terus menjaganya.
        Tetapi rasa itu kemudian semakin parah terasa, semakin sakit dan bahkan membuatnya semakin tak berdaya. Pertumbuhannya mulai terhenti, darah mulai menyelimuti tubuhnya. Dalam keadaannya yang demikian, setengah sadar ia terus mencoba memanggil sang Ibu.
“Ii..buu… Iiib..bu..Ibbuu… T..tollong s..sa..yyaaa……”
 lirih si Jabang Bayi.
        Karena sangking tak kuasa menahan rasa sakit yang teramat sangat, si Jabang Bayi akhirnya pergi. Meninggalkan sejuta keinginannya terlahir ke dunia dan bertemu ibunya.
        Namun, sebelum malaikat menjemputnya, ia sempat mendengar percakapan dua orang perempuan.
“Sudah selesai nak, sudah bersih sekarang.” Kata seorang nenek dengan suara paraunya.
“Si mbok yakin?! Masih sakit nih..” ucap seseorang yang usianya jauh lebih muda.
“Tenang saja. Sudah aman kamu sekarang. Dan ini, ada obat penawar buat rasa sakitmu itu” sahut nenek itu sambil menyodorkan sebungkus obat.
“Tapi mbok? Ini seperti obat pencahar?? Apa ini aman buat perut saya kalo saya minum?” tanya perempuan muda itu terlihat kebingungan.
“Sudahlah, jangan banyak omong kamu nak, minum sajalah itu dan tentunya aman. Lagian Obat-obatan dari saya semuanya dijamin aman dan manjur. Nyatanya kandunganmu pun sudah berhasil disingkirkan.” Jelas si nenek sekaligus mempromosikan produk kecilnya.
“iya mbok, terimakasih. Kalau kandungan itu masih ada, matilah saya nanti menanggung beban ini sendirian” kata perempuan muda itu.
“Lah memangnya dimana bapak dari anakmu ini?” tanya si nenek.
“menghilang mbok, setelah malam gerimis itu” lirih si perempuan muda.
 “hmm.. memang dasar para lelaki maunya yang enak dan senang-senang saja. Lah trus, apa sudah kau kabari bapaknya itu?”
celoteh si nenek, membuyarkan lamunan perempuan muda itu. Wajahnya yang mulai terlihat muram, kepalanya tertunduk melihat dasar lantai rumah si nenek., seperti ada rasa mengasihani diri sendiri terhadap suasana hatinya yang tiba-tiba jadi kalut. Ia menyesal. Ia teringat akan malam-malam itu, ketika ia selalu pulang malam dan harus mengendap-endap masuk rumah.
“mmm, belum sempat mbok, sekarang dia sulit dihubungi. Saya tengok ke tempat kosnya pun sudah nggak ada. Tapi kalau bayi ini sudah nggak ada, saya sedikit merasa tenang, karna Papa dan mamah nggak bakalan curiga lagi.” Jelas si perempuan muda, wajahnya kini terlihat mulai ringan ketika mengucapkan kalimat terakhir.
“Ooh, begitu. Yayaya, si mbok mengerti. Oh ya, soal biaya yang kurang, tenang saja kamu bisa menyusul besok yang penting udah ada uang mukanya yang gede” kata si nenek sambil tersenyum.
“Eh, dan satu lagi. Kalau besok kamu kembali lagi ke sini, tolong jangan pakai baju putih abu-abumu itu. Bikin orang curiga saja, bisa di grebek saya ngelayanin anak sekolahan kayak kamu.” Lanjut si nenek yang kemudian mengambil seputung rokok yang ada di atas meja.
“Oh, iya mbok.” Jawab si perempuan muda itu. Lalu ia langsung berpamitan pulang.
---
        Di sisi lain, roh si Jabang Bayi yang dari tadi sempat memperhatikan pembicaraan mereka, merasa sangat sedih dan terpukul. Hatinya hancur dan berkecamuk, merasakan antara sedih, marah, kecewa, dan sakit hati. Dosa apa yang telah ia lakukan? Kesalahan apa yanf telah ia perbuat? Sehingga membuat sang Ibu membencinya hingga sampai ia tega membunuh anaknya sendiri. Anak yang sesungguhnya tidak tahu menahu tentang apa-apa, ia belum mengerti apa itu dunia, apa itu kehidupan manusia, apa itu arti hidup, apalagi tentang apa itu dosa. Yang ia tahu hanyalah perasaan yang tumbuh dari dirinya tentang rasa sayang dan cinta terhadap sang Ibu. Namun, apa yang terjadi?. Kebeodohan cinta yang fana, dorongan hawa nafsu yang menggila serta bisikan syaitan telah menyebabkan si Jabang Bayi menjadi korban.


***TAMAT***

MATAHARI MERAH



DEJAVU. Aku seperti merasakan kembali kehadiran ayah sore ini. Matahari telah jatuh ke barat, bersembunyi di balik pucuk mangga yang   kian menjulang. Pucuk mangga yang dulu sama tingginya dengan tubuhku, kini jauh meninggalkan aku hingga berlipat-lipat. Matahari mulai kemerahan, pertanda sebentar lagi bumi kehilangan cahaya. Kami selalu menyukai cahaya matahari yang kemerahan. Kata ayah, matahari sore yang berwarna merah adalah matahari terbaik. Sinarnya masih mampu memberi terang tanpa membakar.

        Matahari merah ini mengingatkanku pada masa dua puluh tahun silam, saat aku memutuskan untuk berseberangan dengan ayah atas keputusan yang aku ambil. Dengan mantap dan penuh percaya diri, aku membantah segala pikiran ayah, dengan segala idealismeku yang masih sangat kental, aku bersikukuh pada apa yang aku yakini. Walaupun terpaksa aku harus kehilangan tradisi moci tiap sore hari karena ayah tak berselera lagi menikmati matahari merah.

        Aku, bungsu dari tiga bersaudara, anak lelaki satu-satunya adalah kesayangan ayah. Perhatian ayah yang banyak tercurah padaku sempat membuat iri kedua kakak perempuanku. Sehingga mereka lebih memilih untuk dekat dengan ibu daripada dengan ayah. Akan tetapi belakangan baru kuketahui kalau mereka lebih dekat dengan ibu bukan karena merasa tak mendapat tempat di hati ayah melainkan lebih karena mereka perempuan yang tentu akan banyak meniru apa yang dikerjakan seorang ibu daripada seorang ayah. Aku sendiri memang lebih suka dekat dengan ayah karena beliau tak terlalu banyak bicara. Sangat berbeda dengan ibuku yang cerewet.

        Ayah, seorang guru SD di kampung, adalah sosok yang  sangat menginginkan anak-anaknya dapat bersekolah hingga jenjang yang paling tinggi. Kedua kakak perempuanku memang hanya tamatan SMA.  Tetapi, jenjang itu adalah jenjang tertinggi yang pernah dicapai oleh anak perempuan di kampungku. Kebanyakan anak perempuan tetangga kami hanya tamatan SD dan sebagian kecil lainnya, yang bisa dihitung dengan jari tangan kanan sempat menikmati bangku SMP. Sebenarnya ayah menginginkan mereka melanjutkan ke perguruan tinggi, tetapi mereka berdua tak mampu mewujudkan keinginan ayah. Ayah kecewa.

        Tentu saja, harapan terakhir ayah tertumpu di pundakku. Aku memang telah digadang-gadang ayah sejak kecil. Segala macam usaha ayah lakukan untuk membekali diriku. Tiap malam aku dibimbingnya belajar. Buku-buku yang dibeli ayah dari pasar loak harus aku lahap hingga tuntas. Mungkin jika di kampungku ada bimbingan balajar, sudah pasti aku diikutkan. Memang hasilnya tak mengecewakan, aku menjadi anak yang cukup pintar hingga selalu berprestasi di kelas.
                                                                  *       *       *
        Matahari merah mulai mendekati garis cakrawala di ufuk barat. Tampak bertengger dengan anggunnya di atas kerimbunan pohon yang berada jauh di seberang sawah. Beberapa lembar awan putih mulai melayang menutupi sebagian matahari merahku, membuatnya kian jelita. Sementara angin menghembuskan aroma tanah sawah yang siap ditanami padi. Semuanya jadi sangat mempesona karena duduk berdua bersama ayah menikmati secangkir teh. Sampai saat aku utarakan keinginanku yang langsung mendapat reaksi keras dari ayah. Hingga mengubah segalanya.

        “Cukup ayah saja yang menjadi guru di garis keluarga kita!”  kata ayahku sambil memandangi burung-burung pipit yang terbang pulang. Aku tak mampu menatap wajah ayah, pandanganku hanya tertuju pada cangkir di tanganku. Rasanya itulah pemandangan paling aman daripada harus menatap mata orang yang paling dekat dan paling aku hormati selama ini. Secara fisik aku tak mampu menentangnya, tetapi di tempurung kepalaku, telah berjubel kata dan kalimat yang menunggu giliran untuk dimuntahkan. Aku masih diam menunduk.
     
        Ayahku melanjutkan kata-katanya, ”Ayah ingin kau menjadi insinyur pertanian, ahli teknik, atau apa pun, asal tidak menjadi guru!”

Suasana sore itu benar-benar kaku, mungkin sedikit menegangkan. 
 
        Dengan mengerahkan segenap keberanian, aku pun berusaha menjawab, “Aku maklum kalau ayah berkata demikian, karena seperti yang pernah ayah bilang, ayah menjadi guru bukan atas kemauan sendiri tetapi karena kakek menghendaki demikian. Jadi,  mungkin ada keterpaksaan dalam melakoni pekerjaan, sehingga ayah kecewa.” Aku agak tak percaya dengan kelancaranku berkata-kata, hal ini semakin memompa semangatku untuk melanjutkan kata-kataku sebelum ayah sempat menjawab.
  
        “Mungkin ayah telah merasakan sendiri bagaimana rasanya orang yang bekerja bukan atas kemauan sendiri. Apakah ayah menghendaki hal itu terjadi padaku?” rasanya aku semakin berani saja berkata-kata.
        
 
        “Bukan itu maksud ayah. Ayah hanya tidak ingin perasaan bersalah yang terus menghantui ayah selama ini menurun padamu!”
        
 
        “Maksudnya?” aku memang betul-betul tidak paham dengan maksud kata-kata ayah. Selama ini aku tak melihat kesalahan yang terjadi pada diri ayah. Satu-satunya yang menurutku salah hanyalah sikap ayah yang tak menghendaki aku menjadi guru.

        “Ayah merasa bersalah kepada kalian, karena ayah tak pernah dapat mencukupi kebutuhan kalian semua. Ayah tak mampu memberi kalian tempat tinggal yang layak, yang tak bocor kalau hujan, yang tak kepanasan kala terik matahari memanggang. Ayah tak pernah memberikan makanan yang lezat dan bergizi tinggi untuk tubuh kalian. Dan kalian anak-anakku, tak pernah sempat berekreasi menikmati keindahan alam menjelajah negeri ini karena ayah tak pernah punya uang lebih untuk hal-hal seperti itu! Bahkan, ayah tak mampu menjamin kelangsungan pendidikan kalian, walaupun ayah guru!” ayahku berkata sambil menahan sesuatu dari dalam hatinya.
 
        Aku masih terdiam, seakan memberi kesempatan ayah untuk mengungkapkan hal lain yang mungkin masih bersemayam dalam hati. “Guru adalah profesi terhormat yang paling tak disukai! Dulu, orang tua ibumu, tak setuju kalau ibumu ayah peristri! Sampai sekarang pun kau bisa lihat sendiri kalau kakekmu itu tak suka pada ayah. Menantu yang miskin. tidak seperti menantu yang lain. Bahkan, waktu ayah muda dulu, ada kata-kata yang digunakan orang tua untuk menakut-nakuti anak perawannya yang bandel, ‘Awas, kalau tak nurut, nanti aku kawinkan dengan guru!’ menyedihkan sekali bukan?”

Sejenak aku pandangi matahari merah yang kian merunduk dan ayah melanjutkan kata-katanya, “Guru adalah pilihan orang-orang bodoh! Tidakkah kau amati, anak-anak yang lolos PMDK, tak satu pun yang memilih IKIP! Tidakkah kau tahu, anak-anak pintar dari semua SMA selalu memilih menjadi dokter, insinyur, sarjana hukum, sarjana ekonomi dan profesi lain yang menjanjikan.”

        Aku sama sekali tak menyalahkan ayah tentang hal ini. Kenyataan memang berbicara demikian, anak-anak yang masuk IKIP adalah anak-anak yang tak diterima di perguruan tinggi  lain. Semua aku ketahui dengan pasti saat aku mulai kuliah. Sebagian besar temanku memilih IKIP karena terpaksa. Terpaksa karena tak diterima di Universitas lain, terpaksa karena sadar prestasinya hanya pas-pasan. Dan ekonomi mereka juga tak jauh beda dengan aku. Guru-guru yang tercetak adalah sisa dari saringan dokter, insinyur dan sebagainya.

        “Kau adalah anak ayah yang pintar, jangan sia-siakan otakmu hanya untuk menjadi guru! Jangan kau lepaskan kesempatan untuk meraih sesuatu yang lebih baik!” kelihatan ayahku berusaha keras untuk meruntuhkan semangatku.
        
        Tapi aku rupanya mewarisi sifat ibuku yang keras, “Maafkan aku ayah, bukan aku tak menghargai keinginan ayah, tetapi aku hanya ingin menjadi guru. Rasanya aku tak mampu untuk mengabulkan keinginan ayah. Hal-hal yang aku alami dan rasakan selama sekolah membuat aku betul-betul ingin menjadi guru.”

        “Apa yang kau harapkan dari profesi guru? Apa yang kau tahu tentang guru, sehingga ngotot ingin jadi guru? Tak kau lihatkah ayahmu? Ayah telah membuat mereka pandai membaca, menulis dan berhitung, hingga mereka bisa sekolah sampai ke jenjang paling tinggi. Sebagian mereka bahkan menjadi pejabat, pengusaha dan orang terkenal! Tetapi apa yang ayah dapatkan? Pemerintah hanya memberi ayah sebuah lagu ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’. Masyarakat hanya memberi ucapan ‘Enak ya, jadi guru, jam dua belas sudah di rumah, banyak liburnya lagi’. Apa itu yang kau mau?” kelihatan ayahku mulai meradang.

        Sampai di sini, aku betul-betul tak habis pikir, mengapa ayah berpikiran seperti itu hingga ngotot melarang aku menjadi guru? Satu-satunya jawaban yang paling memungkinkan bagiku adalah, kehidupan ayah yang pas-pasan telah menimbulkan ketidaksukaan terhadap profesinya sendiri.
“Ayah hanya ingin kelak kau hidup bahagia karena tercukupi segala kebutuhanmu!”

        “Materi memang penting ayah, tetapi itu bukan satu-satunya hal yang membuat hidup bahagia!” aku mencoba berfilsafat yang tentu saja langsung dibantah ayah.
“Kau masih terlalu muda untuk mengerti anakku, sekarang kau bisa berkata seperti itu. Tetapi, saat kau sudah berkeluarga dan punya anak, kau akan menyesali perkataanmu itu!”


        Setelah itu ayah meninggalkanku sendirian dan mengakhiri kebiasaannya moci. Segala usahaku untuk mengajak ayah duduk kembali di kursi teras samping rumah menikmati secangkir teh dengan balutan matahari merah selalu gagal. Padahal seperti biasa aku sediakan dua cangkir keramik putih kecil dangan poci tanah liat yang pucuknya mengepulkan asap teh wangi yang membuat pecinta teh sejati akan tergoda. Namun ayah terlalu tangguh menahan godaan, kini ayah lebih tertarik menonton televisi daripada moci bersamaku. Cangkir ayah tetap utuh sampai matahari benar-benar tenggelam dan aku terpaksa membereskan semua.

        Sekali waktu aku mengajaknya secara langsung, “Ayo, Pak, kita moci! Tehnya sudah jadi. Mumpung masih panas!” Dan sebagai pelengkap aku sesap teh di cangkir hingga menimbulkan bunyi ‘sruutt’ yang cukup keras. Namun ayah tetap bergeming.  Bahkan menjawab ajakanku pun tidak. Beliau benar-benar kecewa dengan pilihanku.

        Tetapi keinginanku untuk menjadi guru rupanya sama kuatnya dengan pendirian ayah. Diam-diam aku tetap melanjutkan cita-citaku dan ayah diam saja menyaksikan sepak terjangku selanjutnya.
Ayahku diam dalam arti yang sebenarnya. Sejak saat itu, beliau tak lagi mau berbicara denganku, bahkan saat aku pamitan untuk merantau kuliah di luar kota pun, beliau seakan sengaja menghindar. Tidak hanya itu, biaya kuliah dan biaya hidup pun diberikan penuh hanya pada tahun pertama saja. Untuk tahun-tahun berikutnya, wesel yang dikirimkan tak mencukupi untuk biaya hidup sehari-hari. Belakangan kuketahui kalau kiriman itu hasil upaya ibu menyisihkan uang belanja tiap harinya tentu saja tanpa sepengetahuan ayah.
        Terpaksa aku harus membagi waktu kuliah dengan bekerja apa saja untuk mencari tambahan, menjadi pengantar koran, pencuci piring di restoran, kadang diselingi dengan menulis cerpen untuk koran lokal. Semua kulakukan demi mewujudkan tekadku  agar dapat lulus kuliah dan menjadi guru! 
                                                                    *    *    *
        Matahari tak tampak lagi, yang tersisa hanya semburat merah di garis langit sebelah barat. Seandainya ayah masih ada, tentu ia akan segera menyuruhku membereskan meja seraya beranjak masuk rumah. Tiba-tiba handphone-ku berdering. Kulihat wajah anakku tertera di layar, anak sulungku yang cantik yang sekarang duduk di bangku kelas sebelas. Ah, seandainya ayah masih bisa menikmati matahari merah sore ini, tentu aku tak akan memendam kecewa karena tak dapat menunjukkan bahwa nasibku tak seburuk yang ayah khawatirkan.

                                                                  🌞🌞🌞🌞

Berjilbab Bagi Wanita Muslim




Di jaman sekarang ini, kita lihat semakin banyak para muslimah yang ber jilbab. Semoga ini menjadi bukti kesadaran para muslimah akan perintah Alloh ta’ala sebagaimana tersebut dalam firmannya dalam surat An Nur: 31 :
“Katakanlah kepada wanita beriman, hendaklah mereka menahan pandangan mereka, memelihara kemaluan mereka dan jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa nampak. Hendaklah mereka menutupkan khimar mereka ke dada mereka; dan jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah suami mereka……”

Firman Alloh ta’ala dalam surat Al Ahzab ayat 59:
“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu dan istri orang-orang beriman, hendaklah mereka mengulurkan jilbab nya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal dan tidak diganggu orang. Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Telah cukup terang bagi kita akan kewajiban bagi seorang muslimah untuk menutup semua perhiasan. Tidak boleh sedikit pun perhiasan tadi ditampakkan di hadapan orang-orang ajnabi, yang bukan mahramnya, kecuali bagian yang biasa nampak tanpa mereka sengaja.
Pada surat An Nur Alloh ta’ala menjelaskan tentang hal-hal (maksudnya perhiasan) yang wajib disembunyikan dan yang boleh ditampakkan oleh kaum wanita di hadapan laki-laki asing, pada ayat yang lain Alloh memerintahkan kaum wanita agar ketika keluar rumah mereka menutup pakaian muslim dan khimarnya dengan jilbab, karena dengan itu mereka akan lebih terutup dan lebih terhomat. (Al Ahzab: 59)
Tatkala ayat di atas turun, para wanita anshar pun bila keluar rumah seakan-akan si atas kepala mereka terdapat burung-burung gagak karena pakaian muslim (jilbab hitam) yang mereka kenakan. (hadist riwayat Abu Dawud II:182)
Lalu seperti apakah seharusnya seorang muslimah berpakaian muslim? Cukupkah dengan hanya berjilbab? Lalu seperti apakah jilbab yang sesuai tuntunan syari’at?
Jilbab adalah kain yang dikenakan kaum wanita untuk menutup tubuhnya di atas pakaian muslimyang dia kenakan. Definisi ini adalah menurut pendapat yang paling benar (penjelasan jilbab oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, kitab Fathu Al-Bari I:336). Pada hadist lain disebutkan,
“Rasulullah sholAllohu ‘alaihi wassalam memerintahkan kami keluar untuk shalat ‘idul fitr dan ‘idul adha, baik yang masih gadis yang sedang menginjak dewasa, wanita-wanita yang sedang haidh maupun wanita-wanita yang dipingit. Adapun wanita-wanita yang sedang haidh mereka tidak ikut mengerjakan shalat, namun mereka menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, salah seorang di antara kami ada yang tidak mempunyai jilbab. ‘Beliau menjawab, ‘Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya’”.
Dari hadist ini dapat diketahui bahwa jilbab dituntut untuk dipakai ketika wanita keluar rumah. Jadi seorang wanita tidak boleh keluar rumah kalau tidak memakai jilbab. Dan yang namanya jilbab ialah pakaian muslim yang menutupi mulai dari ujung rambut hingga telapak kaki. Seorang muslimah tidaklah halal dilihat oleh laki-laki yang bukan mahromnya, kecuali bila dia mengenakan khimar, disamping juga jilbab, hingga terutup rapat kepala dan lehernya. Khimar, yang dimaksud disini adalah tutup kepala, Syaikh Albani telah memeriksa pendapat para ulama salaf maupun khalaf mengenai definisi khimar, beliau mencatat lebih dari dua puluh nama ulama, yang mereka adalah para imam dan hafizh. Diantara mereka ada Abul Walid Al-Baji (wafat 474 H) yang memberikan tambahan keterangan mengenai khimar ini, semoga Alloh membalas dia dengan kebaikan, dengan perkataannya: “Tidak ada yang nampak darinya, kecuali lingkaran wajahnya.”

Namun justru saat ini, pemakaian sekaligus antara khimar dan jilbab ini sering dilalaikan oleh kebanyakan kaum wanita ketika mereka keluar rumah. Kenyataan yang ada mereka hanya memakai jilbab saja, atau hanya memakai khimar saja; bahkan, terkadang tidak memenuhi kriteria kedua-duanya. Terlebih lagi masih kita dapati, para wanita memakai kerudung tetapi masih terbuka bagian tubuh yang diharamkan oleh Alloh untuk mereka tampakkan, seperti rambut, kepala bagian depan dan leher. Yang mereka kenakan yaitu jilbab yang mereka sebut jilbab gaul atau jilbab cantik, yaitu penutup kepala yang banyak tertempel berbagai hiasan hingga menarik perhatian, dengan desain yang mengikuti mode paling kini katanya.
Padahal Alloh ta’ala telah menjelaskan hikmah dari perintah mengulurkan jilbab ini dengan firmanNya:

“Hal itu adalah agar mereka lebih mudah untuk dikenali dan tidak diganggu.” (QS. Al Ahzab:59)

Yaitu, bahwa bila seorang wanita itu memakai jilbab, bisa dimengerti bahwa dia adalah seorang wanita yang bersih, menjaga diri dan berperilaku baik. Sehingga orang-orang fasik tidak berani menggodanya dengan perkataan-perkataan yang kurang sopan. Berbeda halnya kalau dia keluar dengan membuka auratnya. Tentu dalam keadaan semacam itu dia akan menjadi incaran dan sasaran orang-orang fasik, sebagaimana yang kita saksikan dimana-mana. Sehingga kita sulit membedakan antara wanita muslimah dengan wanita-wanita kafir.

Demikian, adalah wajib bagi seluruh kaum wanita, baik yang merdeka, maupun yang budak untuk menutupkan jilbab ke seluruh tubuhnya ketika mereka keluar rumah. Maka wahai saudariku, kenakanlah jilbab sebagai bentuk keta’atanmu kepada Alloh dan RasulNya. Sungguh, perintah Alloh ta’ala akan memuliakanmu, menghindarkan dirimu dari kerusakan, menahanmu dari maksiat, melindungimu agar tidak tergelincir kepada kehinaan. Allohu’alam.
Disarikan dari Kitab Terjemahan, Jilbab Mar’ah Muslimah (Jilbab Wanita Muslimah), Penulis; Muhammad Nashiruddin Al Albani, Penerbit; Al Maktabah Al Islamiyah

Senin, 01 Desember 2014

Sekilas tentang Senyuman


     Senyum atau senyuman adalah cara seseorang mengekspresikan rasa bahagianya, dengan menarik kedua ujung bibirnya dengan syaraf pipi ke rahang atas. Ekspresi yang cukup indah bagi orang awam dan sehat. Bagi orang yang kurang sehat pun, dengan ia senyum-senyum sendiri akan terlihat lebih baik dan terkesan lucu dari pada ia  yang tidak pernah tersenyum.
     Awali semuanya dengan senyuman,  senyuman yang tulus akan terpancar dengan sendirinya pada jiwa yang tulus. Senyum itu sederhana, tapi membawa banyak berkah bagi yang melihatnya. Meluluhkan rasa kegundahan hati, menetralisir rasa marah, meneduhkan ketika ada rasa takut, dan memberi kesan positif pada awal pengenalan. Namun, di sisi yang lain, senyum juga dapat bermakna tipu-tipu bagi orang yang menyajikannya dengan yang rasa tidak tulus. Bisa berarti kemunafikan, pertentangan, kebohongan, dan lain sebagainya.
      Jadi kita sebagi masyarakat yang baik, harus  selalu bijak dalam mengatasi dan melakukannya. Hargai orang yang memberi senyuman tulus kita, karena sebuah senyuman yang tulus diberikan kepada kita akan membawa makna baik bagi kita. Bagi senyuman yang kurang tulus, usahakan membalas senyuman itu dengan baik dan tulus. :)