Semoga bermanfaat

Kombinasi dari rumusan kata per kata yang memiliki isi dan makna tersendiri. Semoga dapat memberi manfaat bagi yang membaca. Salam kenal dari saya. ^^

Minggu, 15 Maret 2015

Partisipasi Mahasiswa untuk Koban Tanah Lonsong Banjarnegara


Relawan mahasiswa Universitas PGRI Semarang mengadakan penggalangan bantuan untuk berpatisipasi  membantu korban bencana tanah longsor di Banjarnegara Jawa Tengah. Hal itu serempak dilakukan satu minggu setelah bencana itu terjadi. Seperti yang terjadi pada tanggal 16 Desember 2014. Mereka melakukan kegiatan penggalangan bantuan dengan berbagai cara untuk menarik perhatian orang-orang di sekitar.
            Berita bencana tanah longsor yang terjadi di Banjarnegara (12/12) cukup menggemparkan masyarakat Indonesia. Terutama di wilayah provinsi Jawa Tengah, termasuk kota Semarang. Hal itu membuat para mahasiswa Universitas PGRI Semarang ingin memupuk rasa empati dan solidaritas kemanusiaan terhadap korban bencana tanah longsor. Bantuan tersebut bermacam-macam bentuknya, bisa berupa sumbangan uang, pakaian, bahan makanan, ataupun peralatan-peralatan yang dapat berguna bagi para korban bencana. Bahkan, bantuan secara psikologis juga bisa diterima.
Mereka terdiri dari berbagai organisasi mahasiswa, mulai dari organisasi-organisasi tingkat progam studi, organisasi  tingkat fakultas, hingga organisasi tingkat universitas. Seperti BEM, Himpunan Mahasiswa, UKM-UKM , dan komunitas-komunitas di kampus. Walaupun kegiatan tersebut dilakukan secara terpisah-pisah, mereka memiliki niat yang sama untuk membantu korban bencana.

Di waktu-waktu antara jam perkuliahan, mereka menyempatkan diri untuk berkumpul di pos-pos tertentu yang sudah disepakati sebelummnya. Lalu mereka menggalang bantuan bagi korban bencana. Kegiatan itu dilakukan dari pagi sampai sore hari, tapi tentu saja secara bergantian. Contohnya yang dilakukan oleh UKM musik , IMMORTAL. Mereka bernyanyi di depan klinik Universitas PGRI dari pagi hinggga sore hari.

Selasa, 10 Maret 2015

Bayang – Bayang di Balik Pintu




            Mentari diufuk barat sudah tenggelam. Pelan-pelan namun pasti suasana keredupan mulai terasa. Lantunan lafad-lafad adzan menggema di sana sini. Gemericik air di samping sebuah asrama pondok pesantren mulai terdengar, riuh para santriwati putri berebut wudlu sebelum melaksanakan sholat magrib berjamaah. Pada saat itu Latul dan Icha masih duduk santai hingga antrian wudlu mulai sepi.
            “Dek, ko masih duduk saja? Nggak ambil wudlu?” tanya mbak Mufa, salah seorang pengurus pondok.
            “Iya mbak,nanti kalau sudah mandi hadats,” jawab Latul dengan nada bercanda.
            “Oo…Sedang halangan tho, iya udah sana gi pada masuk ke asrama, nggak baik jam-jam segini masih duduk-duduk disini,” tegur mbak Mufa
            “ Iya mbak,” sahut Icha dengan nada asal-asalan.
            Beberapa saat, suasana menjadi hening sejenak. Mereka berdua masih saja duduk di tempat itu tanpa menghiraukan ajakan mbak Mufa yang sudah pergi dari tempat itu. Latul memandang Icha sesaat.
            “Yuk tul, kita masuk ke dalam, udah banyak nyamuk nich,” kata Icha sembari menepuk bahu Latul.
            “Iya,” jawab Latul singkat.
            Sesampainya mereka di asrama, lebih tepatnya berada di kamar mereka,kamar siti khodijah yang berukuran 8x6 m itu dihuni oleh enam orang, kebetulan satu orang sedang pulang kampung, dua orang sedang berada di langgar pondok, dan dua orang lainnya yakni Latul dan Icha yang mengaku sedang halangan.Jelas cerita, sebenarnya dalam masanya Icha sudah waktunya untuk bersuci. Akan tetapi, karena sikapnya yang suka bermalas-malasan dia nekat untuk memperpanjang masa haidnya tanpa menghiraukan akibatnya.Dilain pihak, temannya yang bernama Latul, dia emang baru beberapa hari mengalami haid ,jadi maklum saja kalau tadi Latul memperhatikan Icha ketika masih duduk-duduk di teras samping asrama ponpes.
Dari kamar sebelah, tiba-tiba terdengar suara mbak Umi memanggil manggil.
            “Tul, Latul…?” panggil mbak Umi.
“Iya, dalemb mbak Umi, ku disini mbak,” sahut Latul.
“Disitu rupanya,” kata mbak Umi menghampiri kamar siti khodijah.
“Iya mbak, ada perlu apa ?” sapa Latul dari kamar.
“Dek, kitabku yang kemaren masih kamu  bawa kan? Kalau masih, mau aku pinjam dulu sebentar buat referensi bahan pembelajaran , persiapan buat test besok,” kata mbak Umi mulai memasuki kamar.
“Oo…gitu, tenang saja. Masih aku simpan di lemari kitab. Tunggu sebentar ya, ku ambilkan dulu,” Kata Latul yang kemudian menuju ke almari kitab dan mencoba untuk mencari-cari benda yang dimaksud.
            Disisi lain dari kamar itu, ternyata ada Icha sedang asyik mengobrak-abrik isi lemari pakaianya seolah-olah juga sedang mencari-cari suatu barang. Dan tersadar kalau disitu juga ada mbak Umi.
            “Mbak Umi?” sapa Icha.
             “Iya… Hlo ada Icha ternyata, ndak pergi ke langgar kamu nok?” kata mbak Umi yang baru menyadari kalau Icha juga ada di situ.
            “Ndak mbak, lagi males… Lagian ku masih halangan o,” jawab Icha.
            “Oo… Beneran nggak itu? Perasaan udah seminggu lebih halangannya,” gurau mbak Umi.
            “Jangan bohong dek. Kalau udah waktunya ia cepet-cepet buat bersuci, jangan di undur-undur,” Lanjutnya dengan ekspresi sama.
            “Endak o… Kemaren emang sempet mau mandi hadast, tapi masih ada bercaknya. Ku takut kalau masih belum bersih. Oia mbak, sampean udah nyuci belum?” kata Icha mulai membereskan lemarinya.
            “Udah, tadi sore. Rencananya mau malem  ini, ntar bareng-bareng sama mbak Mufa sehabis makan malam.Tapi nggak jadi, tadi siang tiba-tiba ku di panggil sama Ummi, Ummi bilang suruh aku  buat nemenin neng Dana belajar. Abis denger itu, ia udah langsung cepet-cepet aja ngantri nyuci,” jelas mbak Umi.
            “Yaahh…Ku kira belum,” kata Icha sedikit kecewa.
            Tak berapa lama, Latul datang sembari menyodorkan sebuah kitab kuning besar bersampul kertas mika dengan rapi.
            “Mbak, ini kitabnya. Beneran yang ini kan?” tanya Latul.
            “Mana? Coba sini ku mau lihat ! Oo iya, betul. Makasih ya,” jawab mbak Umi menerima kitab itu dan memperlihatkannya sekilas kitab itu sudah lama di pinkam oleh Latul. Jadi dia mencoba untuk meneliti halaman per halaman kalau saja ada halaman yang sudah hilang.
“Eia, tadi denger-denger mbak Umi mau nemenin neng Dana ya,” sahut Latul memecahkan perhatian mbak Umi terhadap kitab lamanya.
“He’em, tadi Ummi bilang kalau si eneng Dana pengen ditemenin, soalnya lagi sendirian di rumah,” Kata mbak Ummi masih membuka-buka halaman kitabnya.
“Ooo…Jadi nanti nggak ada ceramah malam donk.Asyik,” sahut Icha dengan gembira menyela pembicaraan mbak Umi dengan Latul.
“Aduhh…Senangnya temanku yang satu ini kalau ndenger kabar kaya gitu,” cemooh Latul sambil tetawa asal-asalan.
            Sejenak mereka terdiam, membuat Latul cukup bingung dan malu atas perkataan yang baru saja di lontarkannya, dia takut kalau kata-katanya tersebut menyinggung perasaan Icha.Tiba-tiba mbak Umi tersenyum-senyum sendiri dan kemudian di ikuti  dengan Icha.Mereka tertawa-tawa sendiri membuat  Latul sedikit lebih  lega. Suasana menjadi santai kembali.
“Iya mungkin,” sahut mbak Umi memulai pecakapan.
“Tapi emang bener nggak apa-apa donk. Bisa dimanfaatin tuh buat nyuci bajuku yang udah numpuk,” celoteh Icha beranjak dari ranjangnya dan mulai memunggut baju-baju kotornya yang sudah disiapkan di dekat lemari.
“Lho ? Belum nyuci to kamu ?” tanya Latul agak kaget.
 “Belum,” jawab Icha
“Lha yang tadi sore itu? Bukanya udah aku antrein,abis giliranku,” sanggah Latul.
“Hehe… nggak jadi, tadi ku suruh Hanik buat nyuci duluan.Lagi males, lebih enakan nyuci malem-malem, lebih rame,” jawab Icha tanpa eksperi rasa bersalah.
“Kamu itu lucu dek, masak malam- malam itu rame,” sanggah mbak Umi.
“Lho bener kan. Biasanya mbak-mbak ndalem nyucinya suka malam-malam. Apalagi ini malam jum’at besok pagi pelajaran pondok libur,jadi lebih bisa leluasa, masa ndak pada nyuci,” omel Icha mencoba membela diri.
 “Iya, tapi apa kamu lupa kalau besok itu ada ujian test kitab kuning dari Abbah sama Ummi. Jadi, so pasti malam ini mau pada konsentrasi buat persiapan acara besok,” jelas mbak Umi.
“Mbak- mbak kalau nyuci mungkin larut malem, ku yakinin kalau kau pasti sudah tertidur,” lanjutnya kembali.
Icha hanya terdiam membisu tetapi ekspresi mukanya menampilkan bahwa dia sedang menyesal sekaligus kecewa.
Latul melanjutkan pembicaraan dengan nada emosi  sedikit tertahan “Kamu sih, juga gitu. Tadi sore udah enak-enak aku antriin abis giliranku.Eee… Malahan dikasih ke orang lain,”
“Hehe…Maaf tul, tadi badanku lagi pegel-pegel,” kata Icha mencoba membela diri dengan alasan-alasan tidak jelas .
“Ntar temenin aku ya?” lanjut Icha sedikit ragu-ragu.
“Ndak bisa cha. Ku juga mau siap-siap buat test besok,” jelas Latul mulai jengkel dengan sikap Icha.
“Nyuci baju sendiri saja dek.Salah sendiri tadi sore nggak mau nyuci, nggak akan terjadi apa-apa kok,” sela mbak Umi tegas.
            Icha yang tadinya bicara menjadi terdiam, memandang dengan wajah sebal dan kemudian bergegas untuk mengambil pakaian kotornya .
“Iya udahlah kalau begitu… Ku mau nyuci dulu ya,” kata Icha dengan lirih.
 Kemudian Icha pergi keluar dari kamar itu dan menuju sisi samping dari asrama pondok ,dimana tempat yang biasa di gunakan oleh santriwati putri untukmencuci baju.
Beberapa saat kemudian, Icha sudah siap dengan pakaian kotor  dan semua perlengkapan mencucinya. Angin malam mulia menyambutnya dengan suasana keheningan. Kebetulan sang rembulan sedang malu-malu memperlihatkan dirinya dan sedang bersembunyi di antara awan-awan hitam.Awan-awan hitam, ya malam itu udara cukup dingin dari pada biasanya, akan tetapi suasana itu tidak terlalu dihiraukan oleh Icha.
“Baru dimulai yasinannya,” kata Icha tersadar ketika mendengar suara- suara lantunan ayat- ayat surah yasiin yang sedang dibacakan oleh para santriwati di langgar mulai terdengar.
            Angin malam kembali menerpa tubuh Icha, semakin lama semakin kencang. Pintu-pintu kamar mandi disamping tempat itu bergoyang-goyang membuka menutup dengan sendiri. Suasana mulia terasa dingin, tapi Icha masih asyik sibuk dengan cuciannya dan tetap cuek dengan disekililingnya yang mulai terasa aneh. Sesekali kilatan petir mulai menghiasi langit hitam pada saat itu, dan suara bergemuruh juga terdengar silih berganti.
            “Sepertinya bakalan turun hujan nich,” gumam Icha pada dirinya sendiri.
Icha mulai tersadar akan suasana disekelilingnya yang semakin dingin ketika satu kilatan kecil hendak menyambar pohon disamping tempat ia mencuci pakaian. Icha cukup terkejut akan hal itu, bulu kuduk di bagian lehernya terasa mulai berdiri.
            “Apaan tuh!!” teriak Icha terkejut.
Suara gemuruh kian terdengar menggelegar di antara awan-awan hitam. Icha tertahan memperhatikan area sekelilingnya, dia mulai merasa merinding.Gerimis kecil air hujan mulai turun, Icha masih tetap berkeinginan untuk menyelesaikan cuciannya. Dengan tergesa-gesa, dia melanjutkan mencuci.Ketika sudah hampir selesai, air hujan sudah turun semakin deras dan membasahi tempat itu. Membuat Icha cukup basah kuyup karena belum sempat untuk melarikan diri. Icha melompat kecil  sambil meneteng ember berisi pakaiannya yang sudah siap untuk dijemur. Icha membawa ember tersebut ke tempat biasa para santriwati menjemur pakaian. Ketika sudah sampai, Icha menyalakan lampu jemuran, untuk meneranginya ketika menjemur pakaian. Tapi lampu itu tetap mati.Setelah beberapa kali di coba untuk menyalakanya, ternyata lampu jemuran tetap tidak menyala.Akan tetapi masih beruntung ada lampu-lampu sekitar pondok yang mampu menerangi samar-samar  tempat  itu, setidaknya tempat itu tidak menjadi gelap gulita. Dan terpaksa Icha harus meberanikan diri untuk tetap menjemur agar pekejaannya cepat selesai.
            Tiba-tiba cahaya kilatan petir menyambar tepat di depan dia berdiri. Suasana lebih mencekam. Icha mulai tersadar kalau ternyata suara-suara yang ada di langgar mulai terdengar lirih, dan di ganti dengan suara gemuruh petir.
            Kilatan cahaya petir menyambar kembali tempat itu, akan tetapi kali ini lebih mencekam, sesosok gadis berpakaian putih-putih menatap pandangan kosong kea rah Icha. Serantak Icha langsung tersentak kaget dan menjerit ketakutan. Icha mencoba lari dari tempat itu. Akan tetapi tanpa sadar dia terpeleset oleh genangan air di belakangnya dan terpelanting keras membentur tanah.Sayang pada saaat itu tidak ada orang yang mengetahui kejadian tersebut. Icha terperungkup sendiru hingga baju dan badannya kotor terkena air hujan .Hingga beberapa menit kemudian,seorang santriwati putri melihat Icha ketika hendak pergi ke kamar mandi.
Santriwati itu kemudian berteriak-teriak meminta bantuan. Dan tidak menunggu terlalu lama, datanglah beberapa santriwati lainnya. Mereka terlihat kebingungan.
“Ada apa nok ?” kata salah satu diantara mereka.
“Ini mbak, ada santriwati putrid yang pingsan,” kata santriwati yang menemukan Icha.
“lho, ko bisa ada di sini ?” sahut yang lainnya.
Sebelum di jawab, terdengar suara mbak Mufa yang sedang berusaha menyelinap dalam kerumunan.
“Permisi – permisi ya ukhti, ada apa ini rame – rame di sini ?” tanya mbak Mufa.
Semuanya menoleh ke arah mbak Mufa.Tidak ada yang berani menjawab. Ketika mbak Mufa sampai di tengah – tengah kerumunan, dia tercengang ada santriwati putri yang tergeletak di depannya.
“Innalillahi. Icha ? Apa yang sedang terjadi ?”  desah mbak mufa kebingungan.
“Ndak tau mbak, tadi tiba – tiba aku melihatnya sudah dalam keadaan seperti ini,” jelas santriwati putri yang pertama menemukan Icha.
“Mmm… Kalau begitu ayo tolong di bantu bawa Icha ke asrama,” kata mbak Mufa.
Mereka kemudian saling bantu untuk mengangkat Icha dan membawanya ke asrama, dan sebagian lainnya ada yang membereskan cucian Icha yang tumpah ke tanah.
Sesampainya di asrama, Icha kemudian di baringkan di kamarnya. Wajahnya terlihat pucat karena kedinginan, dan ada luka benturan di bagian kepalanya. Kebetulan keadaan kamar itu sedang sepi, jadi sekalian saja baju Icha yang kotor dan basah kuyup karena air hujan itu di ganti.                                                         
“Mana si Latul ? tumben nggak ada,” tanya mbak Mufa kepada santriwati yang menemaninya.
“Ehm… Hei, ada apa aku di sii…ni,” sahut Latul memasuki kamar Siti Khodijah.
Kata – katanya tersendat ketika melihat Icha berbaring di tempat tidur.
“Waahh… ini dia , panjang umur kamu tul,” kata salah satu temanya yang sedari dulu menemani mbak Mufa.
            “Dek, sudah datang ternyata. Temani dulu ya temanmu ini, kasian dia kedinginan,”  kata mbak Mufa.                      
            “Iya… tapi, Icha ini kenapa mbak ?” tanya Latul kebingungan.
            “Ndak kenapa – kenapa . Tadi dia pingsan dan kedinginan di luar,” kata mbak Mufa menenangkan Latul.
            Sejenak suasana menjadi hening. Pembacaan surah yasiin dan tahlil di aula pondok sudah selesai, sebagian santriwati ada yang masih menetap di aula, dan sebagian dari lainnya sudah kembali ke asrama. Keadaan di asrama tidak terlalu heboh karena kejadian yang menimpa Icha. Karena sebelumnya, mbak Mufa sudah berpesan kepada santriwati yang mengetahui kejadian tersebut untuk tidak perlu bercerita kepada yang lain.
Luka benturan yang ada di kepala Icha sudah di kompres. Sudah hampir setengah jam lebih Icha pingsan, akhirnya Icha mulai siuman. Kepala Icha terasa pusing, bagaikan ada sebuah palu besar yang sedang memukul-mukul kepalanya. Icha mulai melihat sekelilingnya. Dia sudah berada di kamar, pikirnya. Dia melihat Latul dan teman satu kamarnya sedang duduk-duduk tak jauh dari tempat tidurnya.
Setelah rasa sakit yang di dera kepalanya mulai berkurang, dia mencoba untuk bangkit, setidaknya barusaha untuk duduk di tempat tidur.               
“Hey… sudah bangun rupanya,” sapa Latul.          
Icha hanya tersenyum, kepalanya masih terasa sakit sehingga belum begitu dapat merespon keseluruhan apa yang baru di ucapkan temannya itu .        
“Ini cha’ , ada buah kurma. Tadi Ummi datang ke sini menjengukmu dan menitipkan ini pada mu,” kata Latul sambil menyodorkan kantong plastik yang berisi buah kurma segar.
“Ummi ?” tanya Icha. 
“Iya… Tadi kamu pingsan di tempat jemuran , badanmu basah kuyup kena hujan. Kita tadi sempet panik ngeliat kamu, mbak Mufa juga tadi nemenin kamu. Dan mungkin iya, mbak Mufa juga bilang sama Ummi,” jelas Latul.
Icha hanya diam , terenung mengingat kejadian yang baru saja ia alami.
“Mmm, tadi itu kamu kenapa to ? semua orang bingung ngeliat kamu tiba-tiba jatuh pingsan . perasaan sebelum nyuci kami baik-baik saja kan ?” tanya Latul penuh perhatian.
Kemudian secara perlahan-lahan ,Icha berusaha untuk menceritakan kejadian yang di alaminya sebelum ia jatuh pingsan. Latul mendengarkan dengan seksama, Latul sempat merinding mendengar cerita Icha, walapun sebenarnya dia berusaha untuk tidak percaya tentang hal semacam itu.
“Ahh.. Masak sih cha’ , masa ia di pondok kita ada gituan. Ngaco kamu , ini kan ponpes tempatnya orang untuk mengaji,” kata Latul seolah-olah tidak percaya akan cerita Icha.
“Astagfirullahaladzim, Latul.Ini beneran. Ngapain aku bohong,” kata Icha meyakinkan.
“Kau membuat ku jadi merinding cha,” sahut Latul sambil sesekali mengelus lehernya, memastikan bulu kuduknya tidak berdiri.       
“Ku sebebernya juga masih takut tul,” kata Icha sambil menoleh kanan kiri.
Sesaat kemudian, mbak Mufa dan mbak Umi masuk ke kamar Siti Khodijah. Mereka tersenyum karena Icha sudah siuman.      
“Gimana dek ? udah baikan?” tanya mbak Mufa.
“Iya.. Alhamdullah, lumayan,” jawab Icha.
Sesuai tebakan Icha dan Latul mbak Mufa dan mbak Umi juga menanyakan kejadian yang menimpa Icha sembelum ia pingsan. Dan cerita yang sama akhirnya di ceritakan kembali oleh Icha.Lucunya, respon yang sama  dengan  respon Latul juga di terima lagi oleh Icha dari kedua mbak pondoknya itu.
“Elechh.. mbak,mbak .. kalian ama Latul tu sama, sama-sama nggak percaya. Tadi tu emang beneran. Kalau enggak, ngapain coba aku tadi tiduran di tempat jemuran,” kata Icha mulai sebal.
“Hehe… Masalahnya, selama kakak berada di sini tu ya nggak ada kejadian-kejadian kayak gitu. Semuanya ia tentram- tentram aja,” kata mbak Umi.
“Tapi nggak apa-apa dek. Kalau adapun, paling itu dari jenis yang baek-baek. Karena kan ya , kita emang harus percaya kan kalau di sekeliling kita juga ada makhluk-makhluk Allah yang lain, baik itu abstrak maupun non abstrak. Lagian bisa aja kan kalau makhluk Allah yang satu itu juga ingin mencari ilmu di sini. Dan mungkin saja yang tadi kamu liat itu hanya imajinasi kamu, kalau endak ya mungkin dia pengen menampakkan dirinya kalau dia juga ingin belajar disini. Husnudzan saja dek. Ndak perlu terlalu jadikan sebagai trauma,” jelas mbak Mufa.
 “Hlo emang hal yang kaya gitu juga sekolah ya mbak ?” tanya Latul.       
“Iyaa… iya kan. Kehidupan mereka pun tak jauh berbeda dari kita ,ada yang baek ada yang jahat , ada yang suka menggoda manusia, ada juga yang suka membantu manusia. Mereka juga ada yang sekolah, sholat dan lain-lain .Cuman mungkin ada beberapa hal yang berbeda, salah satunya kita itu abstrak dan mereka itu non abstrak,” jelas mbak Mufa lagi.
“Wahh – wahh… Udah siap jadi ustadzah ni kayaknya,” canda mbak Umi menyegarkan suasana.
“Hmm… betul, betul ,betul,” tambah Icha menggoda.
“Ish, kalian ini ,” kata mbak Mufa dengan mimik wajah seakan-akan terlihat sebal.
“Ndak apa-apa mbak, Di aminin aja. Seenggaknya doa biar cepet wisuda. Hehehe,” kata Latul
“He’em. Betul juga. Iya udah kalau gitu. Amiiin,” sahut mbak Mufa.
Kemudian mereka saling bercanda untuk menghibur diri, setidaknya untuk refreshing sebelum ujian test kitab kuning besok pagi.
Dalam candanya bersama teman- temanya, Icha terenung tentang penjelasan dari mbak Mufa ,Icha menjadi teringat akan ceramah yang di berikan oleh Abbah.Dan tentu saja lebih lengkap dan lebih detail.  Dan dia juga merenungkan kejadian yang di alaminya ,menjadi pembelajaran dan bukti akan kekuasaan Allah menciptakan makhluk-makhluknya.Subhanallah.

SELESAI